
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan sebuah organisasi kemahasiswaan yang lahir dengan membawa identitas khas tersendiri baik dari segi nilai, tradisi, maupun simbolisnya. Sebagai wadah kaderisasi dan pengembanagan diri bagi anggotanya, serta dapat berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa, idealnya oraganisasi ini juga diharapkan mampu untuk melahirkan para kader yang berintelektual, berakhlak mulia, dan memiliki semangat juang tinggi dalam memperjuangka nilai-nilai Islam Ahlussunah Wal Jamaah. Namun hal yang terjadi saat ini justru berbanding terbalik tidak sesuai dengan ideal yang diharapkan, yaitu terciptanya kader yang berintelktual, akibatnya banyak forum pengkajian keilmuan yang semakin sepi diminati oleh kader.
Apabila kita renungi kembali, kecakapan intelektual dan berfikir revolusioner merupakan suatu keharusan yang senantiasa dimiliki dan selalu melekat pada setiap jiwa kader pmii, melihat kondisi inilah yang tentunya menjadikan bahan evaluasi bagi kita bersama untuk mengembalikan marwah intelktual kader. Salah satu pengakajian yang harus di tumbuhkan kembali yaitu mengenai pengkajian dari salahsatu tokoh ilmuan asal Iran yang memiliki pemikiran sangat revolusioner. Gagasan-gagasannya mengenai teologi pembebasan, Islam sebagai kekuatan emansipatoris, serta pentingnya kesadaran historis dan politik umat, menjadikannya salah satu figur yang tetap relevan dalam diskursus gerakan mahasiswa Islam, termasuk dalam tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
A. Telaah Pemikiran Ali Syariati
Salah satu warisan intelektual paling signifikan dari Syariati adalah konsep Islam sebagai kekuatan pembebas dari ketertindasan struktural dan hegemonik. Dalam bukunya Tugas Cendekiawan Muslim, Syariati menegaskan bahwa tugas utama intelektual muslim bukan hanya berpikir, tetapi juga mengambil peran aktif dalam menghapus ketimpangan dan ketidakadilan. Teologi tidak boleh berdiri netral, ia harus berpihak kepada kaum mustadh’afin yang tertindas.
Jika merujuk pada ideologi PMII yang berbasis pada Ahlussunnah wal Jama’ah dan berorientasi pada nilai-nilai keislaman serta kebangsaan, maka pemikiran Syariati bisa menjadi sumber refleksi kritis. PMII, sebagai organisasi kader, memiliki mandat ideologis untuk memperjuangkan keadilan sosial dan membangun kesadaran kritis. Dalam konteks ini, Syariati tidak hanya relevan sebagai bacaan teoritik, tetapi juga sebagai pedoman praksis gerakan.
Syariati secara tajam mengkritik dominasi ulama yang kompromistis terhadap kekuasaan dan menyerukan kebangkitan “Islam merah” yakni Islam yang berpihak pada perubahan. Dalam tubuh PMII yang sering kali terjebak dalam relasi kuasa dan kompromi politik, kritik ini menjadi semacam cermin otokritik. Banyak kader PMII hari ini menghadapi dilema antara menjaga idealisme gerakan dan tuntutan pragmatisme politik. Di sinilah relevansi Syariati muncul kembali: sebagai pengingat bahwa gerakan mahasiswa Islam semestinya menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan, tanpa kehilangan peran transformatifnya. Teologi pembebasan yang digagas Syariati mendorong kita untuk menolak kooptasi politik yang menjinakkan semangat perubahan.
B. Kesadaran Historis dan Pembentukan Subjek Kritis
Syariati juga menekankan pentingnya kesadaran historis sebagai fondasi pembentukan subjek yang mampu berpikir kritis dan bertindak revolusioner. Dalam banyak ceramahnya, ia menggugat narasi sejarah Islam yang diselewengkan demi kepentingan elit penguasa. Ia ingin umat Islam memahami sejarah sebagai arena perjuangan kelas dan ideologi. PMII, yang sejak awal berdiri sebagai respon atas dinamika politik dan sosial, juga memiliki beban sejarah yang panjang. Namun, sering kali sejarah tersebut dilupakan atau hanya dijadikan ritual simbolik. Pemikiran Syariati dapat mendorong PMII untuk melakukan reaktualisasi terhadap sejarah pergerakannya—tidak hanya sebagai kebanggaan masa lalu, tetapi sebagai narasi perjuangan yang harus terus dikontekstualisasi di masa kini.
C. Menuju Aksi Kolektif Dalam Pergerakan
Ali Syariati tidak hanya bicara soal kesadaran, tetapi juga aksi kolektif. Ia menolak Islam yang hanya spiritual dan individualistik. Islam yang sejati, menurutnya, adalah yang terwujud dalam gerakan sosial. Maka, kesadaran harus berujung pada tindakan: from thought to movement. Dalam konteks PMII hari ini, tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengorganisir kesadaran menjadi gerakan kolektif yang konkret. Dari isu lingkungan, pendidikan, ketimpangan ekonomi, hingga intoleransi—semua menuntut respons aktif. Syariati mengajarkan bahwa Islam bukan hanya solusi moral, tetapi juga solusi struktural.
Di sinilah PMII harus berani keluar dari zona nyaman retorika, dan mengambil peran nyata dalam menyuarakan serta mengorganisir perubahan sosial. Aksi kolektif tidak cukup diwujudkan dalam bentuk demonstrasi simbolik, tetapi dalam konsistensi memperjuangkan agenda rakyat tertindas di ruang-ruang kebijakan, budaya, dan ekonomi.