Kesenjangan antara Forum Bahtsul Masail Pesantren dan Forum Diskusi Mahasiswa: Tinjauan Kritis dan Akademis

 

Peran pesantren dan perguruan tinggi dalam membentuk dinamika intelektual di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Di satu sisi, Bahtsul Masail Pesantren merupakan forum diskusi yang menjaga keberlanjutan tradisi fiqh klasik, sementara di sisi lain, Forum Diskusi Mahasiswa adalah ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan pemikiran kritis terhadap fenomena sosial, politik, dan agama. Kedua forum ini beroperasi dalam ruang yang tampaknya terpisah, meskipun keduanya bertujuan untuk menanggapi tantangan zaman melalui diskursus intelektual. Namun, keberadaan kesenjangan antara keduanya tidak hanya berakar pada perbedaan metodologi, tetapi juga mencerminkan proses intelektualisasi yang terbentuk oleh konteks sosial dan budaya yang berbeda.

Baca juga: Aliansi Ponorogo Melawan: Bawa Keranda Mayat sebagai Simbol Kekecewaan untuk DPRD

Tujuan tulisan ini adalah untuk mengeksplorasi kesenjangan struktural yang ada antara Bahtsul Masail dan Forum Diskusi Mahasiswa serta mengkritisi implikasi dari kesenjangan tersebut dalam konteks perubahan sosial dan transformasi pemikiran keagamaan. Melalui analisis ini, diharapkan dapat ditemukan cara-cara untuk membangun jembatan intelektual antara kedua forum agar pemikiran keagamaan di Indonesia dapat berkembang secara lebih inovatif dan relevan.

Bahtsul Masail, sebagai forum diskusi yang ada dalam pesantren, sering kali dijadikan simbol pelestarian tradisi keagamaan. Dalam praktiknya, diskursus Bahtsul Masail tidak hanya terbatas pada masalah-masalah fiqh, tetapi juga mencakup pemecahan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Muslim. Namun, pendekatan yang digunakan cenderung klasik dan normatif, berfokus pada ijtihad yang dilakukan oleh para ulama terdahulu, serta merujuk pada kitab-kitab klasik yang menjadi acuan utama. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah Bahtsul Masail mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dan sosial yang semakin kompleks di era modern?

Keterikatan terhadap teks-teks fiqh klasik sering kali membuat diskursus di dalam Bahtsul Masail terkesan statik dan terlambat dalam merespons perkembangan sosial dan teknologi yang sangat dinamis. Misalnya, masalah-masalah kontemporer seperti gender, hak asasi manusia, atau pluralisme agama sering kali mendapat perhatian terbatas, dengan solusi yang ditawarkan cenderung mengikuti pandangan normatif yang tidak memperhitungkan dinamika perubahan zaman. Dalam konteks ini, Bahtsul Masail dapat dilihat sebagai entitas yang cenderung konservatif, meskipun tujuan awalnya adalah untuk menjaga keberlanjutan ajaran Islam dalam masyarakat.

Guru di Indonesia, Profesi atau Pengabdian?

Namun, argumen ini tidak sepenuhnya menafikan peran Bahtsul Masail sebagai lembaga yang menjaga integritas ajaran Islam. Sebaliknya, kritikan ini dimaksudkan untuk mendorong Bahtsul Masail untuk lebih adaptif dalam menghadapi isu-isu kontemporer yang membutuhkan innovative thinking tanpa mengorbankan esensi ajaran agama.

Di sisi lain, Forum Diskusi Mahasiswa berperan sebagai wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan pemikiran kritis terhadap berbagai masalah yang ada, baik itu isu keagamaan, sosial, politik, atau ekonomi. Forum ini sering kali mengedepankan rasionalitas dan analisis kritis yang bersumber dari berbagai disiplin ilmu, serta mengintegrasikan berbagai perspektif modern dan interdisipliner untuk memahami fenomena yang terjadi. Namun, meskipun pendekatan ini memungkinkan pembaruan dan pembahasan topik-topik yang lebih luas, forum diskusi mahasiswa juga tidak lepas dari kelemahankelemahan tertentu.

Salah satu kelemahan utama dalam diskursus mahasiswa adalah pendekatan teoretis yang sering kali terlalu jauh dari realitas praktis yang dihadapi masyarakat. Sebagai contoh, meskipun mahasiswa sering kali membahas isu-isu penting seperti keadilan sosial dan hak asasi manusia, mereka cenderung mengabaikan konteks praktikal yang mengharuskan adanya penyesuaian antara teori dan penerapan di lapangan. Lebih jauh lagi, dalam upaya mereka mengkritisi tradisi keagamaan, mahasiswa sering kali jatuh pada generalization yang tidak mencerminkan kompleksitas pemikiran keagamaan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, pertanyaan yang muncul adalah, apakah idealismenya telah menghalangi mahasiswa untuk melihat pentingnya akulturasi antara pemikiran tradisional dan modern?Sebagai sebuah kritik, forum diskusi mahasiswa perlu mencari keseimbangan antara rasionalitas dan konteks lokal, dengan mengakui bahwa tradisi keagamaan yang ada bukan hanya dapat dipandang sebagai hal yang usang, tetapi juga sebagai sesuatu yang dapat memberikan dasar moral yang kuat bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman.

Kesenjangan antara Bahtsul Masail dan Forum Diskusi Mahasiswa bukan hanya terletak pada perbedaan metodologi, tetapi lebih pada perbedaan paradigma pemikiran yang mengarah pada keterputusan dialog antara keduanya. Pada satu sisi, Bahtsul Masail mengedepankan kepatuhan pada teks-teks klasik dan tradisi fiqh, sementara mahasiswa, dengan pemikiran kritis mereka, cenderung mendorong perubahan dalam kerangka pemahaman agama yang lebih fleksibel dan dinamis. Dalam hal ini, keterputusan dialog intelektual ini dapat menjadi kendala serius dalam upaya menemukan solusi yang relevan untuk permasalahan sosial keagamaan yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Baca juga : ISU SOSIAL DALAM KAJIAN ORGANISASI MAHASISWA

Dialog yang terfragmentasi ini juga diperburuk oleh adanya gap generasi, di mana santri dalam pesantren lebih terbiasa dengan pemikiran yang lebih tertutup terhadap kritik eksternal, sementara mahasiswa terpapar dengan ide-ide global yang terbuka dan lebih progresif. Hal ini menciptakan dua dunia intelektual yang sangat terpisah, yang masing-masing memiliki cara pandang yang sangat berbeda dalam menanggapi isu-isu yang sama.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan upaya bersama untuk membangun jembatan intelektual yang mampu menyatukan kedua forum ini dalam satu kesatuan diskursus yang lebih inklusif dan aplikatif. Bahtsul Masail harus diberikan ruang untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, sementara Forum Diskusi Mahasiswa perlu mengembangkan kemampuan untuk menghargai nilai-nilai tradisional yang telah mengakar dalam masyarakat. Kolaborasi yang lebih terbuka antara keduanya dapat menghasilkan pemikiran yang lebih komprehensif, di mana inovasi dan tradisi dapat berjalan beriringan untuk memberikan solusi yang lebih nyata dan relevan bagi masyarakat.Melalui dialog yang konstruktif ini, kita dapat menciptakan sebuah pendekatan baru yang tidak hanya mengandalkan fiqh klasik atau pemikiran kritis semata, tetapi juga mengakomodasi perspektif pluralistik yang lebih menghargai perbedaan. Dengan demikian, diharapkan bahwa pemikiran keagamaan dan sosial di Indonesia dapat berkembang lebih dinamis tanpa kehilangan akar tradisi yang menjadi bagian dari identitas masyarakat.

Oleh: M Ghulam Zamroni Menulis adalah sarana untuk membebaskan pikiranmu dan menginspirasi orang lain. Jangan takut untuk mengekspresikan dirimu, setiap kata yang kamu tulis mendekatkanmu pada pencapaian tujuanmu dan berkontribusi dalam mengembangkan dunia

Scroll to Top