
Syihabuddin Yahya al-Suhrawardi al-Maqtul, merupakan tokoh intelektual, sufi sekaligus filsuf besar muslim yang berasal dari Persia Barat. Semasa kecilnya ia mengenyam pendidika formanlnya di Zanjan dan Isfahana dalam bidang Agama, Ilmu Filsafat dan memasuki dunia Sufisme. Ia kemudian melanjutkan ke Anatolia dan singgah di Aleppo bersama dengan fuqaha, sampai menjumpai kematiannya pada usianya yang sangat muda pada tahun 587/1192.
Filsafat Hikmah al-Isyraq yang dikembangkan oleh Suhrawardi merupakan sebuah paradigma pemikiran yang sangat penting dalam tradisi filsafat Islam, khususnya dalam ranah eksplorasi spiritual dan kemanusiaan. Inti dari filsafat ini adalah teori cahaya sebagai hakikat realitas tertinggi, di mana segala sesuatu berasal dari Cahaya Mutlak Pertama, yaitu Tuhan, yang memancarkan sinar-Nya tanpa henti sebagai sumber kehidupan dan eksistensi segala makhluk.
Dalam konteks eksplorasi spiritual, Hikmah al-Isyraq menempatkan pengalaman batin dan intuisi (zauq) sebagai jalan utama untuk mencapai kebenaran sejati, bukan hanya melalui rasio atau akal semata yang menjadi ciri khas filsafat Peripatetik sebelumnya. Suhrawardi mengkritik pendekatan filsafat yang hanya mengandalkan logika formal dan argumentasi rasional, dan menegaskan pentingnya pencerahan batin (ishraq) sebagai metode memperoleh pengetahuan yang autentik. Dengan kata lain, manusia harus mengalami proses pencerahan spiritual yang melibatkan pemurnian jiwa dari kegelapan dan keterikatan duniawi agar dapat menyaksikan realitas tertinggi yang berupa Cahaya Ilahi.
Proses pencerahan ini terdiri dari tiga tahap utama: refleksi filosofis yang menggunakan akal untuk memahami realitas secara obyektif, pemurnian jiwa melalui disiplin spiritual seperti dzikir dan meditasi, serta pencapaian visi iluminatif (ishraq) yang merupakan pengalaman langsung bertemu dengan Cahaya Primordial Tuhan. Tahapan ini menandai perjalanan spiritual manusia dari kegelapan menuju terang, dari ketidaktahuan menuju pengetahuan sejati.
Secara kemanusiaan, filsafat Hikmah al-Isyraq mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi utama: rasionalitas dan spiritualitas. Manusia tidak hanya sekadar makhluk materi, melainkan juga makhluk cahaya yang merupakan pantulan dari Cahaya Ilahi. Dengan menyadari kodrat ilahiyah ini, manusia dapat mengaktualisasikan potensi kemanusiaan yang sejati, yaitu menjadi pembawa cahaya kebaikan dan kebijaksanaan di dunia. Kesadaran ini mengajak manusia untuk tidak hanya fokus pada aspek lahiriah, tetapi juga memperhatikan penyucian hati dan jiwa sebagai landasan etika dan moralitas yang mendalam.
Suhrawardi menggunakan simbolisme cahaya dan kegelapan yang diambil dari tradisi Persia kuno dan ajaran Zoroastrianisme, di mana cahaya melambangkan ilmu, kebenaran, dan kesucian, sedangkan kegelapan melambangkan kebodohan dan kesesatan. Dalam filsafatnya, alam dunia yang gelap adalah tempat terjadinya keterpisahan dari Cahaya Ilahi, dan tugas manusia adalah melakukan perjalanan spiritual untuk kembali kepada sumber cahaya tersebut. Dengan demikian, filsafat ini tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga sangat praktis dan transformasional, mengajak manusia untuk hidup dengan kesadaran tinggi dan berperilaku sesuai nilai-nilai spiritual universal.
Lebih jauh, Hikmah al-Isyraq merupakan hasil perpaduan berbagai tradisi pemikiran, mulai dari filsafat Yunani (Platonisme dan Pythagoras), filsafat Islam Peripatetik (Ibn Sina dan al-Farabi), ajaran sufi seperti al-Hallaj dan al-Ghazali, hingga pemikiran Iran kuno dan Zoroaster. Pendekatan sinkretis ini menunjukkan bahwa pencarian kebenaran dan pemahaman spiritual adalah lintas budaya dan zaman, dan bahwa cahaya sebagai simbol universal dapat menjembatani berbagai tradisi untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi.
Dalam konteks kemanusiaan modern, filsafat Hikmah al-Isyraq memberikan pesan penting bahwa manusia harus mengembangkan dimensi spiritualnya agar mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dan materialistis. Kesadaran akan kodrat ilahiyah dalam diri manusia dapat menjadi sumber kekuatan moral dan etika yang menuntun pada kehidupan yang harmonis dan penuh makna. Manusia yang telah mengalami pencerahan batin akan menjadi agen perubahan yang membawa kedamaian dan keadilan, sebagaimana cahaya yang menerangi kegelapan.
Dengan demikian, eksplorasi spiritual dan kemanusiaan dalam filsafat Hikmah al-Isyraq bukan hanya sekadar teori metafisik, melainkan sebuah panduan hidup yang mengajak manusia untuk terus menerus melakukan perjalanan pencerahan spiritual demi mencapai kesejatian insani yang utuh. Integrasi antara rasio dan intuisi, ilmu dan pengalaman batin, serta antara dunia lahir dan batin, menjadikan filsafat ini relevan sebagai sumber inspirasi dalam menghadapi persoalan eksistensial dan moral di era kontemporer.
Filsafat Hikmah al-Isyraq mengajarkan bahwa manusia harus menjadi “cahaya” bagi dirinya sendiri dan lingkungannya, dengan mengenali bahwa dirinya adalah cerminan dari Cahaya Ilahi. Melalui kesadaran ini, manusia dapat memancarkan pesona kebaikan yang tak habis-habisnya memberikan kedamaian di muka bumi, sekaligus menggapai keselamatan spiritual yang hakiki.
Secara ringkas, filsafat Hikmah al-Isyraq mengajak manusia untuk: Melakukan perjalanan spiritual dari kegelapan menuju cahaya melalui pemurnian jiwa dan pengalaman iluminatif. Menyatukan akal dan intuisi dalam pencarian kebenaran sejati. Menyadari kodrat ilahiyah dalam diri sebagai sumber kemanusiaan sejati. Mengaktualisasikan nilai-nilai etika dan moralitas universal yang berakar pada kesadaran spiritual. Menjadi agen cahaya yang membawa kebaikan dan kedamaian bagi dunia. Dengan demikian, filsafat Hikmah al-Isyraq adalah warisan intelektual yang kaya dan relevan untuk memahami dimensi terdalam manusia sekaligus membimbingnya menuju kehidupan yang bermakna dan penuh pencerahan.